Hari itu saya mengajarkan tentang karakter yang baik kepada anak-anak saya. Setiap anak saya suruh menyampaikan sebuah karakter yang baik yang seharusnya kita miliki. Ada kebiasaan yang kurang baik di antara anak-anak saya.Setiap temannya menyampaikan pendapatnya, ada beberapa anak yang menertawakan atau berkomentar merendahkan.
Seperti saat, Si Agung bercerita. Ketika baru maju saja teman-temannya sudah menertawakan. Memang Agung adalah anak saya yang kurang begitu cepat menerima pelajaran. Tugas jarang mengerjakan. Kalaupun mengerjakan saya sulit membaca tulisannya apalagi memahami maksudnya. Saat itu Agung maju ke depan kelas. Senyam-senyum tanpa maksud atau ada rasa ketidakpercayaan diri. Temannya-temannya saya ingatkan untuk mencoba menghargai orang lain. Setelah saya ingatkan teman-temannya diam. Namun, sejenak. Setelah itu gaduh lagi karena tingkah laku Agung yang aneh, lucu, dengan ekspresi tanpa beban dan rasa bersalah.
Di depan kelas Agung tidak mulai berbicara. Diam. Agak lama. Saya mencoba membantu. Saya tuntun ia untuk mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengikuti. Setelah itu, ia diam lagi. Lalu saya tuntun untuk memberi pengantar apa yang akan ia sampaikan. Ia pun mengikuti. Persis seperti apa yang saya sampaikan. Saya lalu diam. Ayo Gung lanjutkan kamu mau bercerita apa? Ia senyam-senyum saja. Saya lihat dari ekspresinya kelihatan tidak ada ide yang akan ia sampaikan. Senyum, mulutnya komat-kamit tidak keras dan jelas.
Teman-temannya gaduh lagi. Kalau saya biarkan pasti ia hanya diam di depan kelas. Lalu....
Agung adalah salah satu anak didik kami yang memiliki kelebihan yang sulit saya pahami. Ia rajin berangkat sekolah. Semoga Agung jadi anak hebat. Hargailah temanmu seperti Agung, pesan saya kepada anak yang lain. Karena Agung sudah berusaha untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, saya sedih. Anak-anak yang lain selalu melihat Agung dari kekurangannya. Saya terus berpikir bagaimana ya caranya supaya teman-teman Agung menghargai Agung? Tapi, kadang-kadang Agung memang jahil.
Seperti saat, Si Agung bercerita. Ketika baru maju saja teman-temannya sudah menertawakan. Memang Agung adalah anak saya yang kurang begitu cepat menerima pelajaran. Tugas jarang mengerjakan. Kalaupun mengerjakan saya sulit membaca tulisannya apalagi memahami maksudnya. Saat itu Agung maju ke depan kelas. Senyam-senyum tanpa maksud atau ada rasa ketidakpercayaan diri. Temannya-temannya saya ingatkan untuk mencoba menghargai orang lain. Setelah saya ingatkan teman-temannya diam. Namun, sejenak. Setelah itu gaduh lagi karena tingkah laku Agung yang aneh, lucu, dengan ekspresi tanpa beban dan rasa bersalah.
Di depan kelas Agung tidak mulai berbicara. Diam. Agak lama. Saya mencoba membantu. Saya tuntun ia untuk mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengikuti. Setelah itu, ia diam lagi. Lalu saya tuntun untuk memberi pengantar apa yang akan ia sampaikan. Ia pun mengikuti. Persis seperti apa yang saya sampaikan. Saya lalu diam. Ayo Gung lanjutkan kamu mau bercerita apa? Ia senyam-senyum saja. Saya lihat dari ekspresinya kelihatan tidak ada ide yang akan ia sampaikan. Senyum, mulutnya komat-kamit tidak keras dan jelas.
Teman-temannya gaduh lagi. Kalau saya biarkan pasti ia hanya diam di depan kelas. Lalu....
Agung adalah salah satu anak didik kami yang memiliki kelebihan yang sulit saya pahami. Ia rajin berangkat sekolah. Semoga Agung jadi anak hebat. Hargailah temanmu seperti Agung, pesan saya kepada anak yang lain. Karena Agung sudah berusaha untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, saya sedih. Anak-anak yang lain selalu melihat Agung dari kekurangannya. Saya terus berpikir bagaimana ya caranya supaya teman-teman Agung menghargai Agung? Tapi, kadang-kadang Agung memang jahil.